NGANJUK, — Penantian panjang selama hampir dua tahun akhirnya berakhir bagi RHF, alumni SMK Negeri 2 Bagor. Pada Rabu (12/11/2025), ia akhirnya memegang selembar ijazah dan sertifikat Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang seharusnya sudah menjadi haknya sejak 2024.
Namun, kertas kelulusan itu datang bersama luka batin mendalam — simbol dari sistem pendidikan yang seharusnya melindungi, bukan menghukum.
RHF bukan siswa bermasalah, bukan pula tak lulus. Ia hanya anak dari keluarga sederhana yang belum mampu melunasi sisa tunggakan sekolah sebesar Rp1,8 juta.
Alasan klasik yang dijadikan tameng oleh pihak sekolah untuk menahan ijazah dan sertifikat PKL miliknya selama hampir dua tahun.
“Katanya kalau belum lunas, ijazah enggak bisa diambil,” tutur Muhammad Arifin (46), ayah RHF, lirih kepada awak media.
Arifin mengaku sudah berupaya mencicil Rp500 ribu tak lama setelah kelulusan anaknya. Namun, sekolah tetap bersikukuh menahan dokumen tersebut.
“Sudah nyicil, tapi katanya tetap belum bisa diambil sebelum lunas,” tambahnya dengan nada getir.
Akibat penahanan itu, RHF gagal melamar kerja di bidang perhotelan lantaran tak memiliki sertifikat PKL — dokumen penting yang menjadi syarat utama di dunia kerja.
“Anak saya sempat trauma, bahkan enggan datang ke sekolah karena pernah dipermalukan,” ujar Arifin.
Penderitaan keluarga RHF tak berhenti di situ. Arifin menuturkan, istrinya dan anaknya pernah menerima ucapan merendahkan dari salah satu tenaga pendidik.
“Dibilang, ‘jangan sok kaya, kalau enggak punya uang enggak usah PKL jauh-jauh ke Surabaya,’” kenangnya.
Kalimat itu meninggalkan luka psikologis yang dalam bagi RHF, yang semula bercita-cita bekerja di industri perhotelan.
Selama dua tahun penantian, pihak sekolah tidak pernah menghubungi keluarga Arifin — tidak ada surat, pesan, maupun panggilan resmi.
“Rumah saya dari dulu enggak pernah pindah. Tapi sekolah enggak pernah nyari atau ngasih tahu apa-apa,” ujarnya kecewa.
Padahal, dalam sistem pendidikan nasional, ijazah adalah hak mutlak peserta didik, bukan alat untuk menekan secara finansial.
“Saya cuma ingin ijazah anak saya dikembalikan. Itu haknya, bukan barang tebusan,” tegas Arifin.
Tindakan SMKN 2 Bagor jelas menyalahi ketentuan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 dan Surat Edaran Kemendikbud Nomor 14 Tahun 2020 yang melarang sekolah, terutama sekolah negeri, menahan ijazah dengan alasan apa pun.
Apalagi, SMKN 2 Bagor berstatus sekolah negeri, yang seharusnya menjunjung prinsip pendidikan gratis, adil, dan non-diskriminatif.
Namun faktanya, praktik yang menyerupai pungutan liar (pungli) masih terjadi. Ijazah dijadikan jaminan utang, seolah pendidikan bisa ditukar dengan uang tunai.
Sebuah ironi di negeri yang menjunjung semboyan “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Saat dikonfirmasi, Wakil Kepala SMKN 2 Bagor, Agung Priyono, mengaku bahwa sejak Juli 2024, pihaknya sudah tidak lagi memberlakukan pungutan terkait tunggakan administrasi.
Namun, ketika ditanya apakah sebelum Juli 2024 praktik tersebut masih berjalan, Agung memilih menjawab diplomatis.
“Kalau sebelum itu saya tidak tahu, karena saya hanya guru biasa,” ujarnya singkat.
Pernyataan tersebut justru menguatkan dugaan bahwa praktik pungutan dan penahanan ijazah telah berlangsung cukup lama sebelum adanya edaran resmi dari Cabang Dinas Pendidikan Kabupaten Nganjuk pada pertengahan 2024.
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur yang terus menggaungkan program “Pendidikan Gratis dan Merata”.
Slogan itu kini terasa hampa, ketika sekolah negeri masih memperlakukan ijazah layaknya barang gadai, dan siswa dari keluarga kurang mampu justru dipermalukan di hadapan sistem.
RHF mungkin telah menerima ijazahnya, tetapi luka akibat perlakuan tidak manusiawi itu takkan sembuh cepat.
Satu pertanyaan kini menggantung di udara:
Berapa banyak lagi ijazah siswa lain yang masih disandera atas nama “biaya pendidikan” di sekolah negeri kita?


